Antonius Aditya Hartanto

It's time to know more.....

Tuesday, September 26, 2006

3G (BUKAN) UNTUK SEMUA ORANG

Menyimak kemunculan 3G di Indonesia di beberapa hari terakhir ini, terbayang kembali apa yang terjadi sekitar 5 tahun lalu, tepatnya di tahun 2001 ketika teknologi 2,5 G yang dikenal dengan nama GPRS (General Packet Radio Service) menandai dimulainya babak baru sejarah komunikasi data secara komersial melalui perangkat seluler di Indonesia. Ada situasi yang berulang ketika kedua teknologi tersebut diperkenalkan. Ketika GPRS diluncurkan pertama kali, antusiasme masyarakat penggunanya sangatlah tinggi.
Kondisi ini muncul secara alamiah sebagai dampak dari keingintahuan yang tinggi dari masyarakat pengguna terhadap layanan komunikasi data melalui infrastruktur seluler. Masyarakat ingin merasakan pengalaman baru berselancar di dunia maya melalui handset seluler. Dengan dibantu oleh hadirnya handset-handset GPRS berharga murah saat itu, harapan masyarakat terhadap GPRS sangatlah tinggi.
Sayangnya, kecepatan akses yang masih rendah dan diperparah oleh buruknya kinerja infrastruktur GPRS operator yang ada membuat GPRS sangat jauh dari harapan masyarakat. Situasi ini memberi imbas yang sangat besar pada saat peluncuran 3G. Sejarah seperti sedang berputar ulang, namun apakah keduanya akan berakhir dengan cerita yang sama? Mudah-mudahan tidak.


3G Tak Menciptakan Pasar Baru
Kemunculan 3G di Indonesia saat ini jelas tak akan menciptakan pasar pengguna operator yang baru secara signifikan, tapi justru akan mengambil sebagian pasar pengguna komunikasi data melalui GPRS yang sudah ada sebelumnya. Jika mau jujur, kegagalan GPRS membuat operator lebih realistis dalam menentukan target di 3G. Dan ini jelas-jelas diakui oleh petinggi-petinggi operator seluler pemegang lisensi 3G sendiri. Kegagalan dalam meng-edukasi pengguna GPRS memperlihatkan apa sebenarnya orientasi operator di masa lalu. Meski jumlah pengguna GPRS yang mendaftar untuk pindah ke 3G dalam pra registrasi sebuah operator seluler terbesar di tanah air ini melampaui target, namun jelas terlihat bahwa jumlah tersebut masih belum sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Menargetkan pengguna 3G yang berasal dari pengguna GPRS memang realistis. Dan operator sangat tahu bahwa meng-edukasi pengguna layanan data bukanlah perkara yang sederhana. {engalaman pengguna di GPRS akan sangat membantu operator dalam proses edukasi 3G. Namun di sisi lain, memori pengalaman pengguna ketika ber-GPRS pulalah yang sangat mempengaruhi keputusan pengguna apakah akan beralih ke 3G atau tidak? Dan mungkinkah mengharapkan kesuksesan 3G dari pasar GPRS saja? Yang jelas, harapan pengguna juga lebih realistis daripada ketika GPRS pertama kali diluncurkan, itu sisi positifnya.
Menurut data ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) dimana dengan jumlah pengguna seluler saat ini yang mencapai angka 50 juta, sekitar 2 %-nya merupakan pengguna GPRS yang aktif atau maksimal sekitar 1 juta pengguna yang potensial akan diserap oleh 3G (itu harapannya). Kenyataannya, operator kembali berpikir realistis dan hanya menargetkan 10% dari potensi pasar GPRS tersebut akan beralih ke 3G atau apabila dikalkulasi lebih jauh akan mencapai maksimal hanya 100 ribu pengguna. Dalam 6 bulan mendatang, jumlah ini harusnya bukan jumlah yang sulit untuk diraih. Namun perlu diingat sekali lagi, catatan angka tersebut baru merupakan jumlah pengguna yang antusias terhadap produk 3G dan belum menjadi pengguna aktif. Perlu dipertimbangkan juga berapa yang akhirnya mundur di tengah jalan.
Jika dilihat dari jumlah, terjadi peningkatan antusiasme pengguna terhadap 3G dibandingkan saat GPRS diluncurkan tahun 2001. Namun hal itu terjadi karena pertumbuhan pengguna seluler sendiri yang memang meningkat pesat dalam periode 2001 hingga 2005 tersebut. Secara persentase, antusiasme penggunaan GPRS pada bulan-bulan pertama peluncuran perdananya mencapai 3%-7% dari seluruh pengguna seluler yang ada pada saat itu, sedikit lebih baik dari kondisi peluncuran perdana 3G.
Masa bulan madu yang akan berlangsung setidaknya hingga tahun ini berakhir, bakal menjadi pertaruhan penting operator. Akan ada peningkatan kuantitas pengguna (GPRS) dalam jumlah cukup besar hingga beberapa bulan mendatang, “setidaknya untuk sekedar mencoba” layanan 3G. Sebuah gejala yang alamiah yang dipicu oleh strategi “lama” operator yang siap untuk berinvestasi dengan memberi banyak “gratisan” layanan 3G kepada pengguna. Namun akhirnya, tetap saja tarif download 3G susah untuk lebih murah dari tarif GPRS yang ada sekarang. Demikian pula dengan tarif video call yang sulit untuk lebih murah dari tarif panggilan suara. Jika sudah demikian, bisa dipastikan bahwa 3G sejak awal memang bukan barang murah karena baik tarif voice call maupun GPRS di Indonesia, sudah termasuk mahal di bandingkan negara lain. Sebagai contoh, di Italia, tarif voice call 3G berkisar 7,50 sen € /menit atau jika kedua asumsi diatas terpenuhi berarti hampir sama dengan tarif voice call di Indonesia. Sementara penggunaan data sebesar 775 MB selama 1 bulan dibandrol dengan tarif 20,84€ atau sekitar ambil 1/50 tarif di Indonesia (mengambil asumsi tarif GPRS). Khusus untuk layanan data, sebagian besar operator di eropa menerapkan tarif flat untuk penggunaan hingga 1 GB per bulan. Jumlah yang cukup untuk pengguna layanan data lewat handset mobile. Sementara di Singapura, tarif layanan 3G sekitar 0,37sen SGD/KB yang setara dengan Rp. 18,5 atau hampir sama dengan tarif GPRS di Indonesia.


Belajar Dari Negara Lain
Ada catatan menarik yang terjadi di Jepang yang menerapkan Teknologi 3G lebih dahulu dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Tak seperti yang diperkirakan semula, layanan video call yang diperkirakan akan membawa revolusi dalam budaya berkomunikasi seluler yang baru, ternyata gagal menjadi killer application seperti yang diharapkan. Meskipun dari sisi pendapatan rata-rata tiap pengguna atau Average Revenue Per User (ARPU) yang dihasilkannya lebih besar dari voice call, video call ternyata hanya digunakan oleh sebagian kecil pengguna seluler di Jepang. Kenyataannya 3G justru lebih banyak dimanfaatkan kecepatannya untuk layanan-layanan “lama” yang memang sejak era 2/2,5 G lebih bisa diterima oleh pengguna. Salah satu yang masih populer adalah layanan Ezchakuuta dan Chaku Uta.
Situasi yang sama bakal terjadi di Indonesia. Jika operator sanggup membuat harga yang kompetitif setidaknya sama dengan tarif panggilan reguler (suara) untuk layanan video call atau sama dengan tarif GPRS untuk download konten (termasuk streaming), 3G berpotensi merebut pengguna GPRS lebih banyak lagi. Khusus untuk layanan download, biaya GPRS yang ada sekarang ini sudah cukup mahal dibandingkan dengan tarif konten-nya sendiri. Sebagai contoh, sebuah polyphonic ringtone berukuran 100 KB secara resmi di jual dengan harga 5 ribu rupiah (diluar pajak). Dengan asumsi tarif GPRS termurah sekitar Rp. 10/KB, kenyataannya akan menguras tambahan Rp. 1000,- untuk satu lagu saja. Tambahan biaya GPRS ini banyak dikeluhkan pengguna bukan saja karena jumlahnya yang cukup besar, namun juga karena sebagian besar pengguna mengalami kesulitan dalam memperhitungkan besaran akhir yang harus dibayar, terutama karena minimnya informasi yang disampaikan baik oleh operator maupun content provider (CP). Bayangkan seandainya kondisi ini diterapkan pada layanan streaming. Hampir bisa dipastikan untuk situasi Indonesia, layanan video call hanya akan digunakan di acara launching maupun riset saja. Mungkin anda berpikir tarif adalah faktor utama dalam keberhasilan 3G. Meskipun bukan satu-satunya faktor, namun harus diakui begitulah kenyataannya. Namun jika mengambil asumsi GPRS, tarif 3G yang ada tidaklah terlalu mahal dibandingkan negara lain. Nah, pertanyaannya menjadi apakah kondisi ekonomi masyarakat umum saat ini masih mampu menyerap tarif 3G tersebut?

Kesuksesan 3G
Untuk membuat layanan 3G sukses di pasaran, operator tak bisa bekerja sendirian. Perlu usaha dari semua pihak baik termasuk dari pengguna dan vendor handset 3G. Operator harus berusaha untuk menekan tarif 3G setidaknya sama dengan tarif GPRS saat ini itu adalah syarat mutlak. Semuanya ini tentu saja dengan asumsi bahwa dalam bisnis 3G ini, kita akan fokus pada pengguna GPRS. Dengan tetap terus meningkatkan kualitas layanan, operator harus mulai membenahi model kerjasama dengan CP yang ada saat ini, sehingga para CP lebih terpacu untuk mengembangkan diri dan berkompetisi secara positif untuk memberikan konten-konten terbaik untuk layanan 3G. Konsep bagi hasil yang tak seimbang disertai dengan rentang pembayaran yang terlalu lama, menjadi kesulitan tersendiri bagi CP untuk mengembangkan potensinya.
Belajar dari pengalaman Jepang, konten download khususnya musik masih tetap menjadi andalan utama di era 3G ini untuk mengejar trafik. Dan ini secara teknis cukup mudah disediakan oleh CP, karena praktis tidak ada perubahan secara Teknologi terhadap konten-konten lama yang sudah dimiliki. Namun, bisnis download musik di lewat jalur operator saat ini sedang dalam suasana “genting” menyangkut permasalahan hak cipta dan royalti. Problem ini sedikitnya akan membuat operator sedikit menahan diri untuk memanfaatkan secara optimal layanan download musik sebagai fitur andalan di 3G.
Khusus untuk layanan streaming dan online game, CP membutuhkan skema bagi hasil yang lebih kondusif, mengingat selama ini salah satu sebab mengapa CP enggan mengembangkan lebih lanjut layanan berbasis GPRS adalah karena disamping karena kemampuan Teknologi GPRS yang diimplementasikan di Indonesia sendiri yang sangat kurang memadai, juga diakibatkan oleh tidak adanya bagi hasil terhadap penggunaan GPRS oleh pengguna yang mengakses ke layanan tersebut. Mengingat biaya pengembangan layanan-layanan tersebut cukup besar, CP berpikir taktis dengan memilih layanan yang low cost but high revenue. Dipilihlah kemudian SMS premium, seperti yang saat ini sangat marak kita lihat dalam industri konten.
Tanpa killer application, GPRS makin tak bertaring. Dibukanya peluang yang besar bagi penggunaan SMS premium dalam bisnis konten membuat CP semakin “malas” mengembangkan konten berbasis data bukan hanya teks. Sebuah ironi yang menggambarkan kurang seriusnya operator mengembangkan layanan data di Indonesia. Apakah operator ingin mengulang kegagalan yang sama di era 3G? Tentu saja tidak. Kincinya ada di pengembangan peran CP..
Tarif layanan 3G sebenarnya tidak masalah jika harus “sedikit” diatas layanan 2/2,5G yang saat ini ada. Harapannya tentu saja agar nilai yang “sedikit” tersebut dapat digunakan sebagai insentif pendapatan yang dibagi untuk CP. Efeknya tentu saja akan sangat membantu operator untuk segera menemukan satu persatu killer application yang benar-benar killer. Inilah yang telah diimplementasikan di beberapa negara seperti Hongkong dan Jepang. Sharing tersebut sangat menarik CP untuk berlomba-lomba “melayani” operator untuk menyediakan layanan-layan 3G terbaik bukan hanya untuk mengejar keuntungan, namun sekaligus membangun budaya berkomunikasi data melalui seluler yang lebih konstruktif di era-era komunikasi selanjutnya (4G, 5G dan seterusnya). Harus diakui, kualitas konten-konten yang dihasilkan oleh CP-CP di Indonesia masih sangat berorientasi pada bisnis. Indikasinya terlihat maraknya konten-konten bernuansa “judi”, hasil pembajakan, maupun mengandung pornografi. Sebuah kondisi yang mengarah pada dekonstruksisasi layanan seluler.
Usaha tak berhenti pada keberhasilan operator dalam menyediakan tarif yang kompetitif ditambah dengan konten yang menarik. Selanjutnya perlu usaha dari pengguna untuk mengganti handset-nya ke handset yang mendukung 3G. Usaha ini harus didukung oleh vendor dengan penyediaan lebih banyak lagi handset-handset 3G yang terjangkau, bukan saja untuk kelas high end saja, namun setidaknya untuk level middle end. Seiring waktu, tantangan ini bukan hal yang terlalu sulit dilakukan, mengingat harga handset 3G pun bisa dipastikan akan terus turun. Namun seberapa cepat penurunan itu terjadi? Yang jelas, vendor juga perlu menyadari bahwa masa bulan madu 3G bukanlah rentang waktu yang panjang.
Tampak jelas bahwa operator sedang mendapatkan kesempatan kedua untuk “memperbaiki hubungan” dengan pengguna layanan komunikasi data. Kesempatan untuk menunjukkan paradigma baru operator menghadapi tantangan komunikasi seluler masa depan. Kesempatan tersebut bernama 3G. Dan apabila kesempatan ini gagal dimanfaatkan, mungkin kita tak akan pernah lagi memiliki kesempatan sebaik saat ini. Selamat datang di era 3G.

0 Komentar:

Post a Comment

<< Home