Antonius Aditya Hartanto

It's time to know more.....

Tuesday, September 26, 2006

3G (BUKAN) UNTUK SEMUA ORANG

Menyimak kemunculan 3G di Indonesia di beberapa hari terakhir ini, terbayang kembali apa yang terjadi sekitar 5 tahun lalu, tepatnya di tahun 2001 ketika teknologi 2,5 G yang dikenal dengan nama GPRS (General Packet Radio Service) menandai dimulainya babak baru sejarah komunikasi data secara komersial melalui perangkat seluler di Indonesia. Ada situasi yang berulang ketika kedua teknologi tersebut diperkenalkan. Ketika GPRS diluncurkan pertama kali, antusiasme masyarakat penggunanya sangatlah tinggi.
Kondisi ini muncul secara alamiah sebagai dampak dari keingintahuan yang tinggi dari masyarakat pengguna terhadap layanan komunikasi data melalui infrastruktur seluler. Masyarakat ingin merasakan pengalaman baru berselancar di dunia maya melalui handset seluler. Dengan dibantu oleh hadirnya handset-handset GPRS berharga murah saat itu, harapan masyarakat terhadap GPRS sangatlah tinggi.
Sayangnya, kecepatan akses yang masih rendah dan diperparah oleh buruknya kinerja infrastruktur GPRS operator yang ada membuat GPRS sangat jauh dari harapan masyarakat. Situasi ini memberi imbas yang sangat besar pada saat peluncuran 3G. Sejarah seperti sedang berputar ulang, namun apakah keduanya akan berakhir dengan cerita yang sama? Mudah-mudahan tidak.


3G Tak Menciptakan Pasar Baru
Kemunculan 3G di Indonesia saat ini jelas tak akan menciptakan pasar pengguna operator yang baru secara signifikan, tapi justru akan mengambil sebagian pasar pengguna komunikasi data melalui GPRS yang sudah ada sebelumnya. Jika mau jujur, kegagalan GPRS membuat operator lebih realistis dalam menentukan target di 3G. Dan ini jelas-jelas diakui oleh petinggi-petinggi operator seluler pemegang lisensi 3G sendiri. Kegagalan dalam meng-edukasi pengguna GPRS memperlihatkan apa sebenarnya orientasi operator di masa lalu. Meski jumlah pengguna GPRS yang mendaftar untuk pindah ke 3G dalam pra registrasi sebuah operator seluler terbesar di tanah air ini melampaui target, namun jelas terlihat bahwa jumlah tersebut masih belum sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Menargetkan pengguna 3G yang berasal dari pengguna GPRS memang realistis. Dan operator sangat tahu bahwa meng-edukasi pengguna layanan data bukanlah perkara yang sederhana. {engalaman pengguna di GPRS akan sangat membantu operator dalam proses edukasi 3G. Namun di sisi lain, memori pengalaman pengguna ketika ber-GPRS pulalah yang sangat mempengaruhi keputusan pengguna apakah akan beralih ke 3G atau tidak? Dan mungkinkah mengharapkan kesuksesan 3G dari pasar GPRS saja? Yang jelas, harapan pengguna juga lebih realistis daripada ketika GPRS pertama kali diluncurkan, itu sisi positifnya.
Menurut data ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) dimana dengan jumlah pengguna seluler saat ini yang mencapai angka 50 juta, sekitar 2 %-nya merupakan pengguna GPRS yang aktif atau maksimal sekitar 1 juta pengguna yang potensial akan diserap oleh 3G (itu harapannya). Kenyataannya, operator kembali berpikir realistis dan hanya menargetkan 10% dari potensi pasar GPRS tersebut akan beralih ke 3G atau apabila dikalkulasi lebih jauh akan mencapai maksimal hanya 100 ribu pengguna. Dalam 6 bulan mendatang, jumlah ini harusnya bukan jumlah yang sulit untuk diraih. Namun perlu diingat sekali lagi, catatan angka tersebut baru merupakan jumlah pengguna yang antusias terhadap produk 3G dan belum menjadi pengguna aktif. Perlu dipertimbangkan juga berapa yang akhirnya mundur di tengah jalan.
Jika dilihat dari jumlah, terjadi peningkatan antusiasme pengguna terhadap 3G dibandingkan saat GPRS diluncurkan tahun 2001. Namun hal itu terjadi karena pertumbuhan pengguna seluler sendiri yang memang meningkat pesat dalam periode 2001 hingga 2005 tersebut. Secara persentase, antusiasme penggunaan GPRS pada bulan-bulan pertama peluncuran perdananya mencapai 3%-7% dari seluruh pengguna seluler yang ada pada saat itu, sedikit lebih baik dari kondisi peluncuran perdana 3G.
Masa bulan madu yang akan berlangsung setidaknya hingga tahun ini berakhir, bakal menjadi pertaruhan penting operator. Akan ada peningkatan kuantitas pengguna (GPRS) dalam jumlah cukup besar hingga beberapa bulan mendatang, “setidaknya untuk sekedar mencoba” layanan 3G. Sebuah gejala yang alamiah yang dipicu oleh strategi “lama” operator yang siap untuk berinvestasi dengan memberi banyak “gratisan” layanan 3G kepada pengguna. Namun akhirnya, tetap saja tarif download 3G susah untuk lebih murah dari tarif GPRS yang ada sekarang. Demikian pula dengan tarif video call yang sulit untuk lebih murah dari tarif panggilan suara. Jika sudah demikian, bisa dipastikan bahwa 3G sejak awal memang bukan barang murah karena baik tarif voice call maupun GPRS di Indonesia, sudah termasuk mahal di bandingkan negara lain. Sebagai contoh, di Italia, tarif voice call 3G berkisar 7,50 sen € /menit atau jika kedua asumsi diatas terpenuhi berarti hampir sama dengan tarif voice call di Indonesia. Sementara penggunaan data sebesar 775 MB selama 1 bulan dibandrol dengan tarif 20,84€ atau sekitar ambil 1/50 tarif di Indonesia (mengambil asumsi tarif GPRS). Khusus untuk layanan data, sebagian besar operator di eropa menerapkan tarif flat untuk penggunaan hingga 1 GB per bulan. Jumlah yang cukup untuk pengguna layanan data lewat handset mobile. Sementara di Singapura, tarif layanan 3G sekitar 0,37sen SGD/KB yang setara dengan Rp. 18,5 atau hampir sama dengan tarif GPRS di Indonesia.


Belajar Dari Negara Lain
Ada catatan menarik yang terjadi di Jepang yang menerapkan Teknologi 3G lebih dahulu dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Tak seperti yang diperkirakan semula, layanan video call yang diperkirakan akan membawa revolusi dalam budaya berkomunikasi seluler yang baru, ternyata gagal menjadi killer application seperti yang diharapkan. Meskipun dari sisi pendapatan rata-rata tiap pengguna atau Average Revenue Per User (ARPU) yang dihasilkannya lebih besar dari voice call, video call ternyata hanya digunakan oleh sebagian kecil pengguna seluler di Jepang. Kenyataannya 3G justru lebih banyak dimanfaatkan kecepatannya untuk layanan-layanan “lama” yang memang sejak era 2/2,5 G lebih bisa diterima oleh pengguna. Salah satu yang masih populer adalah layanan Ezchakuuta dan Chaku Uta.
Situasi yang sama bakal terjadi di Indonesia. Jika operator sanggup membuat harga yang kompetitif setidaknya sama dengan tarif panggilan reguler (suara) untuk layanan video call atau sama dengan tarif GPRS untuk download konten (termasuk streaming), 3G berpotensi merebut pengguna GPRS lebih banyak lagi. Khusus untuk layanan download, biaya GPRS yang ada sekarang ini sudah cukup mahal dibandingkan dengan tarif konten-nya sendiri. Sebagai contoh, sebuah polyphonic ringtone berukuran 100 KB secara resmi di jual dengan harga 5 ribu rupiah (diluar pajak). Dengan asumsi tarif GPRS termurah sekitar Rp. 10/KB, kenyataannya akan menguras tambahan Rp. 1000,- untuk satu lagu saja. Tambahan biaya GPRS ini banyak dikeluhkan pengguna bukan saja karena jumlahnya yang cukup besar, namun juga karena sebagian besar pengguna mengalami kesulitan dalam memperhitungkan besaran akhir yang harus dibayar, terutama karena minimnya informasi yang disampaikan baik oleh operator maupun content provider (CP). Bayangkan seandainya kondisi ini diterapkan pada layanan streaming. Hampir bisa dipastikan untuk situasi Indonesia, layanan video call hanya akan digunakan di acara launching maupun riset saja. Mungkin anda berpikir tarif adalah faktor utama dalam keberhasilan 3G. Meskipun bukan satu-satunya faktor, namun harus diakui begitulah kenyataannya. Namun jika mengambil asumsi GPRS, tarif 3G yang ada tidaklah terlalu mahal dibandingkan negara lain. Nah, pertanyaannya menjadi apakah kondisi ekonomi masyarakat umum saat ini masih mampu menyerap tarif 3G tersebut?

Kesuksesan 3G
Untuk membuat layanan 3G sukses di pasaran, operator tak bisa bekerja sendirian. Perlu usaha dari semua pihak baik termasuk dari pengguna dan vendor handset 3G. Operator harus berusaha untuk menekan tarif 3G setidaknya sama dengan tarif GPRS saat ini itu adalah syarat mutlak. Semuanya ini tentu saja dengan asumsi bahwa dalam bisnis 3G ini, kita akan fokus pada pengguna GPRS. Dengan tetap terus meningkatkan kualitas layanan, operator harus mulai membenahi model kerjasama dengan CP yang ada saat ini, sehingga para CP lebih terpacu untuk mengembangkan diri dan berkompetisi secara positif untuk memberikan konten-konten terbaik untuk layanan 3G. Konsep bagi hasil yang tak seimbang disertai dengan rentang pembayaran yang terlalu lama, menjadi kesulitan tersendiri bagi CP untuk mengembangkan potensinya.
Belajar dari pengalaman Jepang, konten download khususnya musik masih tetap menjadi andalan utama di era 3G ini untuk mengejar trafik. Dan ini secara teknis cukup mudah disediakan oleh CP, karena praktis tidak ada perubahan secara Teknologi terhadap konten-konten lama yang sudah dimiliki. Namun, bisnis download musik di lewat jalur operator saat ini sedang dalam suasana “genting” menyangkut permasalahan hak cipta dan royalti. Problem ini sedikitnya akan membuat operator sedikit menahan diri untuk memanfaatkan secara optimal layanan download musik sebagai fitur andalan di 3G.
Khusus untuk layanan streaming dan online game, CP membutuhkan skema bagi hasil yang lebih kondusif, mengingat selama ini salah satu sebab mengapa CP enggan mengembangkan lebih lanjut layanan berbasis GPRS adalah karena disamping karena kemampuan Teknologi GPRS yang diimplementasikan di Indonesia sendiri yang sangat kurang memadai, juga diakibatkan oleh tidak adanya bagi hasil terhadap penggunaan GPRS oleh pengguna yang mengakses ke layanan tersebut. Mengingat biaya pengembangan layanan-layanan tersebut cukup besar, CP berpikir taktis dengan memilih layanan yang low cost but high revenue. Dipilihlah kemudian SMS premium, seperti yang saat ini sangat marak kita lihat dalam industri konten.
Tanpa killer application, GPRS makin tak bertaring. Dibukanya peluang yang besar bagi penggunaan SMS premium dalam bisnis konten membuat CP semakin “malas” mengembangkan konten berbasis data bukan hanya teks. Sebuah ironi yang menggambarkan kurang seriusnya operator mengembangkan layanan data di Indonesia. Apakah operator ingin mengulang kegagalan yang sama di era 3G? Tentu saja tidak. Kincinya ada di pengembangan peran CP..
Tarif layanan 3G sebenarnya tidak masalah jika harus “sedikit” diatas layanan 2/2,5G yang saat ini ada. Harapannya tentu saja agar nilai yang “sedikit” tersebut dapat digunakan sebagai insentif pendapatan yang dibagi untuk CP. Efeknya tentu saja akan sangat membantu operator untuk segera menemukan satu persatu killer application yang benar-benar killer. Inilah yang telah diimplementasikan di beberapa negara seperti Hongkong dan Jepang. Sharing tersebut sangat menarik CP untuk berlomba-lomba “melayani” operator untuk menyediakan layanan-layan 3G terbaik bukan hanya untuk mengejar keuntungan, namun sekaligus membangun budaya berkomunikasi data melalui seluler yang lebih konstruktif di era-era komunikasi selanjutnya (4G, 5G dan seterusnya). Harus diakui, kualitas konten-konten yang dihasilkan oleh CP-CP di Indonesia masih sangat berorientasi pada bisnis. Indikasinya terlihat maraknya konten-konten bernuansa “judi”, hasil pembajakan, maupun mengandung pornografi. Sebuah kondisi yang mengarah pada dekonstruksisasi layanan seluler.
Usaha tak berhenti pada keberhasilan operator dalam menyediakan tarif yang kompetitif ditambah dengan konten yang menarik. Selanjutnya perlu usaha dari pengguna untuk mengganti handset-nya ke handset yang mendukung 3G. Usaha ini harus didukung oleh vendor dengan penyediaan lebih banyak lagi handset-handset 3G yang terjangkau, bukan saja untuk kelas high end saja, namun setidaknya untuk level middle end. Seiring waktu, tantangan ini bukan hal yang terlalu sulit dilakukan, mengingat harga handset 3G pun bisa dipastikan akan terus turun. Namun seberapa cepat penurunan itu terjadi? Yang jelas, vendor juga perlu menyadari bahwa masa bulan madu 3G bukanlah rentang waktu yang panjang.
Tampak jelas bahwa operator sedang mendapatkan kesempatan kedua untuk “memperbaiki hubungan” dengan pengguna layanan komunikasi data. Kesempatan untuk menunjukkan paradigma baru operator menghadapi tantangan komunikasi seluler masa depan. Kesempatan tersebut bernama 3G. Dan apabila kesempatan ini gagal dimanfaatkan, mungkin kita tak akan pernah lagi memiliki kesempatan sebaik saat ini. Selamat datang di era 3G.

Saturday, August 12, 2006

LBS, Teman Tatkala Anda Tersesat ?

Pernahkah anda membayangkan betapa tersiksanya diri anda, seandainya anda harus tersesat di sebuah tempat yang sangat asing bagi anda? Tanpa teman? Mengalami kendala bahasa mungkin? Atau anda mengalami kejenuhan yang luar biasa di suatu tempat asing, anda ingin hiburan tapi tak tahu harus kemana? Jika anda merasa sama sekali tak memiliki apapun yang dapat diandalkan pada saat itu, barangkali inilah saat yang tepat bagi anda untuk mulai mempertimbangkan menggunakan aplikasi yang dinamakan Location Based Services atau LBS ini di dalam handset kesayangan anda. Di tahun 2003, diperkirakan dunia seluler akan semakin marak dengan berbagai aplikasi baru yang berbasis pada lokasi. Dan tentunya peran aplikasi semacam inipun akan semakin penting dalam kehidupan manusia. Tidak percaya ?


Luasnya fungsionalitas yang dapat dilakukan oleh aplikasi LBS pun semakin lama semakin bervariasi. Artinya anda tak hanya dapat menggunakan aplikasi ini untuk kondisi darurat saja, akan tetapi anda pun dapat menggunakannya meski hanya untuk sekedar fun saja. Mencari ATM terdekat, rumah makan, SPBU, atau hanya sekedar mencari tahu dimana rumah teman anda. Dalam keadaan darurat, anda dapat mencari dimana rumah sakit bersalin terdekat, selanjutnya memberitahukan pihak rumah sakit bahwa istri anda akan melahirkan sekaligus memesan kamar pasien, sampai kemudian anda akan dibimbing oleh aplikasi menuju tempat tersebut, tikungan demi tikungan, jalan demi jalan melalui handset anda. Seru juga ya?
LBS bukan saja akan membantu anda dalam beraktifitas sehari-hari, namun juga pernah membantu pihak kepolisian melacak keberadaan orang-orang yang menjadi buronan mereka. Tentunya anda pernah membaca kisah penangkapan Tommy, dan Imam Samudra. Namun itu hanya salah satu kisah sukses saja. Kisah sukses lain tentunya andalah yang harus menikmatinya sendiri nanti.
Tahun 2002 merupakan awal bagi munculnya sebuah fenomena baru dalam pertumbuhan mobile Internet secara global. Location based mobile wireless dan layanan pelacakan telepon seluler, m-commerce SMS, EMS, MMS, personal mobile entertainment dan aplikasi-aplikasi Game berbasis Java dianggap telah memberi wajah baru dalam dunia komunikasi bergerak dan Internet. Smartphone dengan layar yang lebar dan berwarna memberikan nuansa tersendiri dalam teknologi handset. Jumlahnya pun makin meningkat secara signifikan.
Berbicara tentang LBS, dunia mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, aplikasi yang memfokuskan diri pada bagaimana menentukan posisi suatu titik di atas muka bumi ini melalui berbagai macam pendekatan ilmiah dan teknologi telah menjadi semakin penting dan memberikan prospek yang positif. Teknologi yang digunakannya pun sudah sedemikian berkembang pesat, dan jaringannya pun semakin meluas. Kini, anda tak lagi hanya dapat menggunakan aplikasi yang hanya menampilkan peta tertentu yang anda inginkan atau lokasi tempat dimana handset ada berada saat ini saja, tapi anda pun dapat pula mencari route ke suatu tempat dari posisi anda saat ini, dan kemudian membimbing anda secara detil jalan-jalan yang harus anda lalui. Menakjubkan bukan?
Salah satu teknologi yang sebelumnya secara populer digunakan dalam pencarian posisi LBS adalah sistem yang dinamakan Global Positioning System (GPS). Dalam fungsi yang lebih umum, teknologi ini biasanya digunakan untuk menampilkan informasi geografis suatu wilayah dalam suatu sistem yang dinamakan Geographic Information Systems (GIS). GIS bukan hanya menyediakan perlengkapan untuk administrasi data-data berupa peta dasar yang berisi jalan raya, bangunan, sungai, gunung dan sebagainya saja, akan tetapi juga digunakan untuk memanajeman titik-titik menarik dari suatu wilayah yang seringkali menjadi tujuan pencarian seperti SPBU, rumah makan, tempat-tempat rekreasi dan sebagainya.
Dalam hal jenis layanan, nyatanya informasi semakin menjadi komoditi yang laku untuk dijual. Layanan informasi telah mengalami evolusi perkembangan yang luar biasa pesatnya. Munculnya Internet, perkembangan pesat teknologi seluler, ditambah dengan semakin canggihnya teknik pencarian lokasi memberikan dimensi baru dalam teknologi penentuan posisi manusia atau obyek sekaligus membangkitkan ruang bisnis baru yang lebih luas. Mengakses informasi, ternyata semakin lama semakin menjadi gaya hidup baru. Perkembangan pesat dalam budaya baru ini akan banyak kita saksikan di negara-negara maju seperti Jepang, China, Korea, Eropa, dan tentunya Amerika Serikat. Tuntutannya sebenarnya hanya satu, mengkombinasikan antara mobilitas dengan globalitas. Dan inilah pasangan paling serasi dalam dekade ini, dunia seluler dan Internet.
LBS adalah salah satu dari bisnis informasi yang menjanjikan. Jika berbicara tentang pencarian lokasi atau posisi, beberapa sistem yang digunakan dewasa ini dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu :
· Secara Manual
· Melalui GPS
· Menggunakan Cellular Based Stations

Metode manual adalah cara-cara konvensional yang selama ini sering anda lakukan, baik yang melalui yellow pages, telepon bantuan operator, dan sebagainya. Cara-cara ini tentunya sangat merepotkan dan sudah mulai ditinggalkan. Munculnya Internet memberi perspektif baru bagi fasilitas pencarian ini yang lebih luas. Ditambah dengan munculnya komunikasi seluler, tentunya mobilitas pun semakin meningkat. Dengan menggabungkan kedua teknologi ini, apakah sistem tetap bertahan dengan cara manual ?
GPS merupakan sistem navigasi radio di seluruh dunia yang memanfaatkan 24 buah satelit beserta stasiun buminya. Melalui system ini, bumi dibagi dalam kotak-kotak dengan masing-masing memiliki alamat yang unik sehingga anda dapat mengidentifikasikan dengan tepat masing-masing lokasi tersebut. Dalam teknologi GPS receiver, perangkat yang digunakan telah sedemikian kecilnya dan murah. Pada dasarnya, GPS adalah teknologi outdoor. Oleh karena itulah, barangkali kemudian berkembang teknologi Cellular Based Stations yang berbasis pada jaringan komunikasi seluler yang memungkinkan digunakan dalam ruangan atau indoor. Untuk itu, sebuah handset dapat ditentukan posisinya saat ini berdasarkan posisi relatif sebuah handset terhadap satu atau lebih cell tower terdekat dengan mempertimbangkan sinyal yang digunakan untuk melayani sebuah handset. Dengan menggunakan prinsip triangulasi, maka posisi handset dapat terdeteksi. Cellular base stations memiliki akurasi yang sangat kurang baik bila dibandingkan dengan menggunakan GPS.
Di masa mendatang, LBS akan memberikan keuntungan bukan saja bagi pelanggan, akan tetapi juga bagi network operator. Di samping pelanggan akan mendapatkan personal safety yang lebih tinggi, ditambah dengan fitur-fitur yang lebih personal serta membuat komunikasi menjadi lebih mengasyikkan, LBS juga akan memberikan gambaran bagi Network operator tentang pembagian pasar yang lebih spesifik berdasarkan layanan yang diberikan.
Berdasarkan polling dari Integrated Data Communications, Inc. (IDC), ternyata diperoleh hasil bahwa 2/3 pengguna di Amerika Serikat menginginkan sebuah sistem wireless LBS dengan tingkat keselamatan dan keamanan (emergency call, roadside assistance, dan bantuan petunjuk arah) yang tinggi. Mereka tak segan-segan membayar premium charge untuk mendapatkan layana tersebut guna mengeliminasi biaya layanan telekomunikasi.
Sementara Strategis Group memprediksikan pasar LBS di Amerika Serikat berkisar antara $3.9 milyar pada tahun 2004. Allied Business Intelligence Inc (ABI) melaporkan juga bahwa pendapatan dari LBS dari seluruh dunia akan bertambah dari sekitar $1 milyar di tahun 2000 menjadi lebih dari $40 milyar di tahun 2006. Di Eropa sendiri, pada periode 2006-2007 diperkirakan pasarnya akan mencapai sekitar $14 milyar. Dengan prediksi ini berarti pertumbuhan per tahun yang akan dicapai adalah rata-rata 81%.
Tahun 2005 hingga 2007 dianggap sebagai periode yang pantas bagi perkembangan wireless LBS. Banyak alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama tentunya dalam infrastruktur pendukung dalam bisnis informasi secara wireless yang sangat mengandalkan pada kecepatan transfer data, diyakini pada periode waktu tersebut telah mengimplementasikan teknologi 3G secara global. Teknologi 3G yang mampu mengirimkan data dengan kecepatan hingga sekitar 2 Mbps adalah teknologi tepat untuk layanan informasi dengan jumlah data yang cukup besar. Dan tentunya diharapkan daerah yang dapat dijangkau oleh layanan seluler di masa mendatang juga semakin luas.
Alasan kedua tentunya menyangkut teknologi handset yang ada di pasaran pada saat itu diperkirakan semakin mendukung secara penuh fitur-fitur dari LBS yang berkembang. Saat ini beberapa fitur semacam layar berwarna, ukuran layar yang semakin lebar, resolusi layar yang semakin baik, ditambah dukungan terhadap teknologi 3G mulai bermunculan di pasaran. Namun sayangnya, fitur-fitur tersebut masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar orang. Sayang sekali ya? Tapi tenang saja, nantinya fitur-fitur tersebut akan dapat anda nikmati dengan harga murah, seiring dengan munculnya handset yang baru.
Yang ketiga tentunya dukungan dari Service Provider sebagai penyedia layanan data yang ingin pelanggan peroleh tidak boleh diabaikan begitu saja. Network operator perlu bekerja sama dengan komponen penting lain misalnya perbankan, layanan umum masyarakat, pengusaha-pengusaha swasta, dan lain sebagainya. Dan bagian tersulitnya tentunya adalah bagaimana mengintegrasikannya dalam sebuah layanan.
Nah kini, dengan kondisi alam geografis Indonesia yang begitu indah ini, rasanya solusi LBS cocok digunakan untuk mengembangkan pariwisata di Indonesia. Untuk hal ini, harus diakui, kita kurang melirik teknologi sebagai penunjang pariwisata. Semenjak Bali diguncang bom, hampir semua tempat wisata tak hanya di Bali, tapi juga di Indonesia menjadi sepi. Anda pun pasti tahu, tak semua tempat wisata di Indonesia memiliki rambu-rambu penunjuk jalan yang memadai. Nah, mengapa LBS tidak kita gunakan ?
Jadi, tentunya kita semua berharap, di Indonesia, LBS bukan lagi hanya digunakan untuk menangkap penjahat yang kabur saja bukan ? Tapi juga digunakan untuk membangun negara kita khususnya pariwisata yang semakin terseok akhir-akhir ini. Dan tentunya anda tak hanya berharap bisa menyanyikan lagu “Kembalikan Baliku” saja bukan ? Tetapi juga benar-benar melihat Bali kembali bersinar seperti dulu lagi.

Java vs WAP (Published : Selular, December 2002

Teknologi WAP (Wireless Application Protocol) sempat disebut-sebut sebagai masa depan bisnis “content” bagi para provider jasa Internet. Setelah sempat mencuat sebagai primadona bagi para pengembang aplikasi untuk peralatan komunikasi bergerak khususnya ponsel selama beberapa waktu, kini gaungnya mulai menghilang. Kemanakah gerangan teknologi WAP tersebut ?
Apakah ini adalah imbas dari munculnya berbagai teknologi baru yang lebih menarik atau karena memang teknologi WAP sendirilah yang memang kurang mampu bersaing ? Berita-berita tentang munculnya berbagai teknologi perangkat lunak baru pada ponsel seperti yang akhir-akhir ini gencar diberitakan di berbagai surat kabar maupun majalah teknologi, cukup membuat popularitas teknologi WAP menjadi redup. Benarkah demikian ?
WAP pada awalnya dibuat untuk memenuhi tuntutan masyarakat terhadap tingginya kebutuhan pengguna ponsel dalam merespon perkembangan Internet yang pesat. Teknologi WAP merupakan metamorfosa layanan web dalam lingkungan yang khusus yaitu sistem dan peralatan komunikasi bergerak. WAP menyediakan pilihan teknologi browser yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk aplikasi-aplikasi berbasis server seperti halnya web. Jadi WAP ditujukan untuk aplikasi yang berbasis “koneksi”, dimana sebagian besar proses sangat bergantung pada kemampuan server mengolah informasi yang diinginkan oleh pengguna. Sebagai sebuah aplikasi berbasis server, WAP tidak memiliki kemampuan untuk komputasi dan pengaksesan ke sistem lokal, dalam ini adalah perangkat keras ponsel yang digunakan.
Buruknya dukungan terhadap komputasi dan pengaksesan terhadap perangkat lokal ini menghasilkan tampilan yang membosankan untuk setiap halaman WAP yang diakses. Di samping itu, dengan mempertimbangkan sifat WAP sebagai aplikasi yang berbasis koneksi, dan karena sifat ini diimplementasikan pada lingkungan yang relatif tidak stabil atau dalam ini adalah lingkungan komunikasi teknologi bergerak, maka mengingat tingkat “coverage” sinyal dari sistem komunikasi bergerak yang tidak stabil dan kurang luas, akan berakibat pada buruknya koneksi dari aplikasi yang menggunakan WAP ini di tempat-tempat tertentu. Meskipun demikian, aplikasi tetaplah akan menjadi sebuah pilihan utama di masa depan.
Siapakah yang akan menggusur WAP ? Pertanyaan tersebut cukup menggelitik mengingat peta aplikasi ponsel saat ini mulai ramai dengan munculnya pesaing tangguh yaitu J2ME. Dan ketika pertanyaan tentang apakah WAP akan tergusur oleh Java yang mulai mengeluarkan versi J2ME-nya diutarakan, tentunya anda sedikit terkejut bila mengetahui bahwa ternyata, WAP pun dapat dimanfaatkan oleh J2ME untuk pertukaran data. Disamping sebagai sarana pertukaran data, WAP pun merupakan salah satu penunjang dalam proses download aplikasi Java ke ponsel pengguna.
Pada dasarnya teknologi WAP dan J2ME saling berkomplemen artinya kedua teknologi tersebut hampir tidak beririsan sama sekali satu dengan lainnya. WAP menyediakan pilihan teknologi browser yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk aplikasi yang berbasis server. Namun, WAP kurang dalam hal teknologi untuk menyediakan komputasi lokal yang efektif. Komputasi lokal dan penyimpanan dengan koneksi ke jaringan, merupakan wilayah yang ditangani oleh J2ME secara ideal.
Intinya adalah masing-masing teknologi memiliki kekuatannya masing-masing tergantung aplikasi yang dijalankannya. Banyak pengamat industri melihat bahwa dunia komunikasi tanpa kabel akan merasakan bahwa kombinasi kedua teknologi ini di masa mendatang akan saling bersinergi dalam melayani pengguna ponsel di seluruh dunia secara harmonis. Artinya dengan kelebihan J2ME di sisi komputasi dan pengaksesan ke resource lokal dan dipadukan dengan kemampuan networking dari WAP yang telah teruji, terlebih lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi seluler yang semakin cepat dengan munculnya generasi ketiga dan keempat, kita pantas optimis dengan kombinasi ini.
Dengan perpaduan yang harmonis antara kedua teknologi ini, diharapkan para pengguna lebih dimanjakan lagi dengan fasilitas-fasilitas yang lebih beragam. Sehingga ponsel benar-benar menjadi peralatan yang multifungsi, namun murah. Dan ini tentunya membuka pasar yang lebih besar lagi bagi penyedia layanan aplikasi, content, operator, maupun para developer independent. Mungkin saja anda termasuk salah satu didalamnya ?